Selasa, 14 Juni 2016

lagu lagu jawa di zaman kewalian

MENGENAL LAGU – LAGU BERNUANSA AGAMA DAN BUDAYA DI ZAMAN KEWALIAN DI JAWA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Ubaidillah Achmad, M.A



index


Oleh :
Nur Aliyatur Rohmah          (1403036018)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016

I.                   DATA
Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu dewan da’wah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti olehwalilainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Dalam menyebarkan agama islam, walisongo tidak hanya menggunakan metode dakwah saja, tetapi juga ada kesenian, misalnya dengan lagu – lagu yang menjadikan masyarakat jawa itu percaya bahwa agama islam adalah agama yang paling benar, dan agama yang paling diridhai oleh Allah SWT. Namun, lagu yang diciptakan adalah bukan lagu yang sekedar hanya lagu saja, melainkan lagu yang penuh makna didalamnya. Lagu yang membangkitkan sikap kebaikan pada diri manusia.

II.                RELASI MAKNA
Banyak sekali lagu lagu bernuansa agama dan budaya karya zaman kewalian di jawa. Berikut adalah sebagian dari lagu – lagu jawa berserta nilai atau makna yang terkandung di dalam lagu tersebut:
A.    Lir ilir
Dalam syair tembang dolanan yang berjudul Ilir-ilir mengandung makna religius (keagamaan). Sedangkan maksud yang terkandung dalam tembang tersebut adalah kita sebagai umat manusia diminta bangun dari keterpurukan untuk lebih mempertebal iman dan berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru. Meminta Si anak gembala untuk memetikkan buah blimbing yang diibaratkan perintah salat lima waktu. Yang ditempuh dengan sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Meskipun ibarat pakaian kita terkoyak lubang sana sini, namun kita sebagai umat diharapkan untuk memperbaiki dan mempertebal iman dan taqwa agar kita siap memenuhi panggilan Ilahi robbi.

Lir-ilir, lir-ilir (bangunlah, bangunlah!!)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
Cah angon, cah angon (anak gembala, anak gembala)
Penekno blimbing kuwi (Panjatlah pohon belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
Dodotiro, dodotiro (pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak di bagian samping)
Dondomono, jlumatono (jahitlah! Benahilah!)
Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)
Mumpung padhang rembulane (mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo sorako, sorak iyo!! (bersoraklah dengan sorakan iya!!)

Sebagai umat Islam kita diminta untuk bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dalam diri kita yang dilambangkan dengan tanaman yang mulai bersemi dan menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru. Disini disebut anak gembala karenaoleh Allah, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya? Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang diibaratkan buah belimbing bergerigi lima. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun islam. Jadi, meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan rukun islam apapun halangan dan resikonya. Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa. Pakaian taqwa yang dimaksud adalah pakaian taqwa kita. Sebagai manusia biasa, pasti terkoyak dan berlubang di sana sini. oleh sebab itu, kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil manghadap kehadirat Allah SWT kita diharapkan melakukan hal-hal tersebut, ketika kita masih sehat (dilambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan iya.

B.   Padhang Bulan
Lagu Padhang Rembulan dinyanyikan anak-anak Jawa pada saat bulan purnama tiba. Anak-anak bernyanyi untuk memanggil teman-temannya bermain bersama-sama menikmati bulan purnama. Setelah teman-temannya berkumpul, lagu dolanan tersebut sering dikombinasikan dengan permainan petak umpet, tebak-tebakan atau cangkriman, dan lain-lain.
Yo prakanca dolanan ing njaba (Ayo teman-teman bermain di luar (halaman)
Padhang mbulan padhange kaya rina (Rembulan bersinar terang seperti siang hari)
Rembulane kang ngawe-awe (Rembulannya seakan-akan melambaikan tangan)
Ngelingake aja turu sore-sore (Mengingatkan kita jangan tidur sore-sore)
Yo prakanca dha padha mrenea (Ayo teman-teman bersama-sama ke sini)
Bareng-bareng dolanan suka-suka (Beramai-ramai bermain bersuka ria)
Langite padhang sumebar lintang (Langitnya cerah bintang bertebaran)
Yo padha dolanan sinambi cangkriman (Ayo bermain bersama sambil main tebak-tebakan)
Makna lagu Padhang Bulan
Nilai budaya Jawa yang ditanamkan pada anak-anak melalui lagu dolanan Padhang Rembulan, yaitu penghargaan terhadap alam semesta, religiusitas, dan solidaritas.Melalui syair ini anak-anak diajarkan untuk mencintai alam. Hal ini dapat dilihat dari penggambaran keindahan alam dalam syair lagu Padhang Rembulan. Anak dikenalkan sejak dini tentang lingkungan alam. Jika dikenalkan dengan alam semesta, anak akan menumbuhkan nilai penghargaan terhadap alam semesta dapat digunakan untuk membentuk pribadi dengan karakter mampu memberikan penghargaan terhadap alam semesta. Penghargaan tersebut dapat ditunjukkan dengan kekaguman dan takjub atas keindahan alam semesta. Nilai penghargaan terhadap alam semesta tersebut juga mendukung nilai religiusitas. Kesadaran akan keagungan alam semesta menuntun kekaguman pada Sang Penciptanya. Dengan demikian, nilai penghargaan terhadap alam semesta mendukung terbentuknya nilai religiusitas pada anak.
Nilai penghargaan pada alam semesta dan religiusitas dalam lagu Padhang Rembulan dapat ditemukan pada syair: Padhang bulan padhange kaya rina; langite padhang sumebar lintang yang artinya rembulan bersinar terang (suasananya) seperti siang hari, langitnya terlihat cerah bintang bertebaran’. Lirik tersebut menjelaskan bahwa pada saat bulan purnama suasana malam hari yang biasanya gelap menjadi terang benderang seperti siang hari. Langitnya terlihat cerah dihiasi bintang yang bertebaran. Keindahan bulan purnama dan bintang di malam hari tersebut perlu dinikmati, rugi jika dilewatkan dengan tidur sejak sore hari. Keagungan alam semesta saat bulan purnama memberikan kedekatan hati atas kebesaran Sang Pencipta. Hal tersebut perlu dikenalkan pada anak agar terbentuk pribadi yang berkarakter mampu memberikan penghargaan terhadap alam semesta dan religius.
Nilai solidaritas dapat terbentuk melalui pemahaman ajaran yang terkandung pada syair yo pra kanca dolanan neng njaba, yo pra kanca dha padha mrena, bebarengan dolanan suka-suka yang artinya ayo teman-teman bermain di luar (halaman), ayo teman-teman datanglah ke sini, bersama-sama bermain bersuka ria. Syair tersebut menunjukkan ajakan untuk bermain bersuka ria bersama-sama. Ajakan ini menunjukkan solidaritas atau kebersamaan dengan sesamanya untuk bermain dan bersuka ria. Kesenangan tidak hanya dinikmati sendiri, melainkan dinikmati dengan kebersamaan. Penanaman hal ini penting dikenalkan pada anak agar anak tidak egois atau individualis. Anak harus mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Bermain bersama merupakan salah satu ajang untuk mengasah jiwa solidaritas dan sosialnya dengan sesamanya. Kebersamaan dalam bermain tersebut dapat mendukung terbentuknya nilai solidaritas dan sosial pada anak.
C.     Gundhul – gundhul pacul
Lagu Gundul-gundul Pacul merupakan lagu daerah yang berasal dari Jawa Tengah. Meski di setiap buku lagu-lagu daerah nama R. C. Hardjosubroto tercantum sebagai pencipta lagu Gundul-Gundul Pacul, namun konon lagu ini merupakan gubahan sunan kalijaga dan teman – temannya yang masih remaja. Atau adapula pendapat yang menyatakan bahwa lagu Gundul-gundul Pacul ini adalah karya dari Raden Umar Sa’id (Sunan Muria). Terlepas dari polemik tentang siapa sebenarnya pencipta lagu Gundul-gundul Pacul, lagu ini mempunyai arti filosofis yang dalam dan sangat mulia berupa rambu-rambu leadership bagi para pemimpin negeri ini
Gundul gundul pacul-cul,gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Makna lagu Gundhul – Gundhul Pacul
Gundul: adalah kepala plonthos  tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota. Sedangkan pacul: adalah cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat.  Pacul: adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani. Gundul pacul artinya: bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas).
Artinya bahwa kemuliaan seseorang sangat tergantung pada 4 hal, yaitu Mata, Telinga, Hidung, dan mulut.
1.      Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat
2.      Telinga digunakan untuk mendengar nasehat
3.      Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan
4.      Mulut digunakan untuk berkata yang adil
Adapun Gembelengan artinya: besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Jadi, “Gundul-gundul pacul cul gembelengan’ artinya seorang pemimpin yang sejatinya harus menunaikan amanah rakyat ternyata menjadi sombong, selengekan, clelak-clelek, dan menjadikan kehormatannya sebagai sebuah permainan. Sedangkan “Nyunggi-nyunggi wakul kul” artinya seorang pemimpin harus selalu nyunggi wakul (memikul bakul/tempat nasi, yang berarti mengupayakan kesejahteraan rakyat dan menjunjung amanah rakyat). namun dalam realitasnya sering ditemui pemimpin yang ‘nyunggi-nyunggi wakul kul gembelengan’ atau pemimpin yang hanya mementingkan perut dan udelnya sendiri akhirnya wakul ngglimpang (amanah jatuh tidak dapat dipertahankan) segane dadi sak latar (berantakan sia-sia, tak bisa bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat)
Intinya, mari kita memilih pemimpin yang amanah dan tanggung jawab bukan pemimpin yang mementingkan udel-nya sendiri. dan bagi para pemimpin, sudah menjadi kewajiban anda untuk menggunakan 4 indera anda sebaik mungkin agar tidak ucul hingga wakul kalian menjadi nggelimpang.
D.    MACAPAT
Tembang Macapat merupakan salah satu kelompok tembang yang sampai saat ini masih diuri-uri (dilestarikan) oleh orang Jawa. Ada 11 tembang dalam macapat, masing-masing memiliki karakter dan ciri yang berbeda, memiliki wataknya sendiri, dan memiliki aturan-aturan penulisan khusus dalam membuatnya. Asal-usul tembang macapat sendiri sampai saat ini masih dalam perdebatan. Masyarakat jawa tengah pada umumnya mengetahui tembang macapat ada sejak masa-masa akhir kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam di tanah jawa. Pada jaman Walisongo tembang macapat banyak digunakan sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Tembang macapat diyakini sebagian besar orang jawa sebagai kelompok tembang yang memiliki makna proses hidup manusia, proses dimana Tuhan memberikan ruh-Nya, hingga manusia tersebut kembali kepada-Nya. Sifat-sifat manusia sejak lahir hingga kematiannya digambarkan dengan runtut dalam sebelas tembang macapat.
1.      Maskumambang
Sebagai pembuka dalam kelompok tembang macapat, Maskumambang menjadi pratanda dimulainya kehidupan manusia di dunia, tembang macapat ini memberi gambaran tentang janin dalam kandungan ibu ketika sedang hamil. Arti kata Maskumambang sendiri banyak yang memaknai sebagai emas yang terapung (emas kumambang), juga sering disebut sebagai maskentir (emas yang terhanyut). Kehamilan merupakan proses pembentukan seluruh organ jiwa dan raga sebuah janin, berlangsung selama 280 hari atau 10 bulan atau 40 minggu terhitung dari hari pertama haid terakhir. Para pemuka agama meyakini bahwa ruh ditiupkan pada janin saat berusia 120 hari terhitung sejak bertemunya sel sperma dengan ovum. Tembang macapat maskumambang banyak digunakan untuk mengungkapkan perasaan nelangsa, sedih, ketidakberdyaan, maupun harap-harap cemas dalam mensikapi kehidupan.

2.      Mijil
Awal hadirnya manusia di dunia ini digambarkan dalam tembang Mijil yang berarti seorang anak terlahir dari gua garba Ibu. Kata lain dari mijil dalam bahasa jawa adalah wijil, wiyos, raras, medal, sulastri yang berarti keluar.
Kelahiran merupakan proses dimana seorang ibu memperjuangkan dua nyawa sekaligus, dirinya sendiri dan anaknya. Seberat apapun proses itu, didalamnya terdapat cinta dan harapan dari seluruh anggota keluarga, harap-harap cemas namun bahagia dalam menanti kelahiran buah hati.
Jabang bayi yang mijil dari rahim ibunya adalah suci, dia tidak bisa memilih terlahir dari siapa, misalpun terlahir dari hubungan “tidak sah”, bayi tetaplah suci, ibarat kertas ia masih bersih putih tanpa coretan. Ketika bayi lahir saat itulah ia mengenal dunia pertama kalinya, ia diberi wewenang untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Ia dihadirkan untuk bisa menjadi “manusia” hingga suatu saat bisa kembali kepada-Nya dengan damai.

3.      Sinom
Dalam bahasa jawa Sinom biasanya digunakan untuk menyebut daun asam yang masih muda, beberapa kalangan mengartikan Sinom sebagai si enom, isih enom (masih muda). Meski berbeda-beda dalam mengartikan, namun pada prinsipnya tetap sama dalam mengintepretasikan kata Sinom yakni tentang sesuatu yang masih muda.
Tembang macapat Sinom merupakan tembang ketiga setelah tembang macapat Mijil yang berarti terlahir. Setelah bayi lahir ia menjadi seorang anak yang dalam perkembangannya akan menjadi seorang anak muda yang dinamis. Tembang macapat Sinom secara umum memang memberi gambaran tentang seseorang yang menginjak usia muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan hingga menjelang usia akil-balik ataupun dewasa. Dalam istilah konotasi bahasa Indonesia, orang yang masih muda belia sering dikatakan sebagai daun muda. Sifat tembang macapat Sinom adalah bersemangat, bijaksana dan sering digunakan untuk piwulang (mengajari) dan wewarah (membimbing).
4.      Kinanthi
Kinanthi banyak diyakini berasal dari kata dikanthi-kanthi (diarahkan, dibimbing, atau didampingi). Proses pendampingan anak sebenarnya sudah dilakukan orang tua sejak kecil, namun di usia remaja seorang anak perlu didampingi secara ekstra karena pada usianya ia sudah banyak berinteraksi dengan lingkungan.
Masa-masa remaja menginjak usia dewasa biasanya seseorang sedang mengalami proses pencarian identitas ataupun jati diri. Banyak referensi yang ia dapatkan dari interaksi lingkungan dan pergaulannya. Apa yang ia lihat, dengar dan rasakan terkadang didefinisikan seolah-olah adalah dirinya, saat itulah ia banyak meniru untuk menunjukkan ke-aku-annya.
Diusia remaja ia sudah mengenal baik dan buruk, sudah sedikit mengenal asmara, sudah mengenal banyak hal namun belum bisa menentukan pilihan secara bijaksana karena masih mudah terombang-ambing dengan pilihannya.
5.      Asmaradana
Macapat Asmaradana merupakan salah satu tembang yang banyak menggambarkan gejolak asmara yang dialami manusia. Sesuai dengan arti kata, Asmaradana memiliki makna asmara dan dahana yang berarti api asmara.
Sebagaimana kehidupan, ia digerakkan oleh asmara, cinta, welas asih. Banyak yang percaya, dengan kekuatan cinta apapun bisa dilakukan. Bukan hanya cinta kepada sesama manusia, namun juga cinta terhadap Tuhan dan cita pada alam semesta.
Macapat Asmaradana juga sering disebut sebagai Asmarandana, adalah lagu kasmaran yang sering digunakan untuk mengungkapkan perasaan cinta, baik untuk lagu sedih karena patah hati, kecewa cintanya ditolak, pasangan bahagia, maupun sebuah pengharapan pada pasangan.
6.      Gambuh
Tembang macapat Gambuh dalam rangkaian sekar macapat memiliki makna “cocok” atau sepaham. Tembang ini untuk menggambarkan seseorang dikala memasuki masa-masa indah atau masa menikah. Pernikahan menjadi sebuah tanda persetujuan (sarujuk) atas dua keluarga, sebagai obat (gambuh) atas panasnya kobaran api cinta yang digambarkan dalam tembang macapat Asmarandana.
Watak dari tembang gambuh diantaranya adalah Sumanak (ramah terhadap siapapun), sumadulur (persaudaraan yang erat), Mulang (mengajarkan), dan Pitutur (nasehat). Sebagai salah satu tembang yang memuat berbagai nasihat, tembang macapat Gambuh biasanya digunakan oleh para orang tua untuk menasihati anak-anaknya atau para generasi muda tentang bagaimana membangun kehidupan antar sesama, misalnya bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya (bijaksana), bisa memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya (adil), dan lain sebagainya.
7.      Dhandanggula
Tembang macapat Dandanggula memiliki makna harapan yang indah, kata dandanggula sendiri dipercaya berasal dari kata gegadhangan yang berarti cita-cita, angan-angan atau harapan, dan dari kata gula yang berarti manis, indah ataupun bahagia. 
Selain mempunyai arti harapan yang indah, beberapa kalangan juga ada yang menafsirkan Dandanggula berasal dari kata dhandang yang berarti burung gagak yang melambangkan duka, dan dari kata gula yang terasa manis sebagai lambang suka. Kebahagiaan dapat dicapai setelah sebuah pasangan dapat melampaui proses suka-duka dalam berumah tangga sehingga akan tercapai cita-citanya, cukup sandang, papan dan pangan. Seseorang yang sedang menemukan kebahagiaan dapat diibaratkan lagunya dandanggula.
Dalam urutan sebelas tembang macapat, Dandanggula menempati urutan tembang yang ketujuh setelah tembang macapat Gambuh yang berarti kecocokan anatar dua insan manusia. Tembang ini memiliki watak yang Luwes, gembira dan indah, sangat cocok digunakan sebagai tembang pembuka yang menjabarkan berbagai ajaran kebaikan, ungkapan rasa cinta dan kebahagiaan.
8.      Durma
Tembang macapat Durma merupakan tembang macapat yang menggambarkan kondisi ketika manusia telah menikmati segala kenikmatan dari Tuhan. Dalam banyak kasus, manusia akan mengingat Pencipta-Nya saat ia dalam kondisi kesulitan, dan ia akan lupa ketika dalam kondisi kecukupan.
Memang sudah seharusnya ketika manusia dalam kondisi kecukupan ia akan bersyukur, namun pada kenyataannya justru seringkali ia bersifat sombong, angkuh, serakah, suka mengumbar hawa nafsu, mudah emosi dan berbuat semena-mena terhadap sesamanya. Sifat-sifat buruk inilah yang mungkin digambarkan dalam tembang macapat Durma. Durma bagi beberapa kalangan diartikan sebagai munduring tata krama, (mundurnya etika).
Tembang macapat Durma biasanya digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat amarah, berontak, dan juga semangat perang. Ia menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk, egois dan ingin menang sendiri.
9.      Pangkur
Tembang macapat Pangkur bagi orang jawa sering dimaknai sebagai proses mengurangi hawa nafsu dan mungkur dari urusan duniawi. Dalam tahap ini, manusia sudah memasuki usia senja dimana sesorang akan “berkaca” tentang dirinya, tentang masa lalunya, tentang pribadi dan Tuhannya dan lain sebagainya.
Pangkur yang juga berarti mungkur (mundur/mengundurkan diri), memberi gambaran bahwa manusia mempunyai fase dimana ia akan mulai mundur dari kehidupan ragawi dan menuju kehidupan jiwa atau spiritualnya.
Tembang macapat Pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur (nasihat), pertemanan, dan sayang. Dalam tembang ini juga berbicara tentang kegembiraan dan pengendalia hawa nafsu. Meski demikian tembang macapat Pangkur juga sering digunakan dalam tembang-tembang asmara.
10.   Megatruh
Tembang macapat Megatruh merupakan salah satu tembang macapat yang menggambarkan tentang kondisi maunisa di saat sakaratul maut. Kata megatruh sendiri dipercaya berasal dari kata megat/pegat (berpisah) dan ruh, yang artinya berpisahnya antara jiwa dan raga.
Kematian menjadi hal yang paling ditekankan dalam tembang Megatruh, proses dimana setiap makhluk hidup di dunia pasti akan mengalaminya, proses yang menegangkan sekaligus menyakitkan bagi banyak orang, proses terbukanya gerbang menuju kehidupan yang tak pernah ada akhirnya.
Bagi para pemuka agama sangat meyakini bahwa ruh akan lepas dengan mudah dan ringan untuk mereka yang memiliki iman. Bagi orang yang beriman Malaikat akan datang dan mengambil nyawanya dengan kesan yang baik serta menggembirakan.
Kematian secara medis terjadi ketika otak telah kehabisan suplai oksigen, sel otak mati secara massal, dan seluruh organ tubuh sudah tidak dapat lagi bekerja.
Tidak mudah memang memprediksikan secara tepat kapan seseorang akan meninggal. Kematian dapat disebabkan karena sakit, kecelakaan atau sebab lainnya secara mendadak. Meski demikian beberapa orang juga ada yang mampu menemukan keanehan ataupun tanda-tanda menjelang kematiannya.
Sifat dan karakter dari tembang macapat Megatruh diantaranya sedih, prihatin, “getun”, menyesal. Tembang macapat ini sangat cocok untuk cerita yang mengandung rasa penyesalan, prihati, sedih.
11.   Pucung
Setelah kita mengenal tembang macapat Megatruh yang berarti proses perpisahan antara Jiwa dan Raga, kini kita akan mengenal satu tembang macapat Pucung atau sering ditulis dengan Pocung yang biasa diartikan dengan pocong/pengkafanan jenazah. Tembang ini menjadi tembang terakhir dari sebelas tembang macapat.
Bagi orang jawa, badan wadag yang telah ditinggalkan oleh ruhnya biasanya akan dirawat dan disucikan sebelum ia dikembalikan dari asalnya yaitu rahim ibu pertiwi (tanah). Jasad akan dimandikan dan dibungkus dengan kain mori putih sebagai lambang kesucian.
Tembang macapat Pucung merupakan satu tembang yang digunakan sebagai pengingat akan datangnya kematian. Hadirnya manusia di dunia yang sementara ini akan ada satu masa titik akhir dimana ia harus berpisah dengan segala yang ia cintai semasa hidup. Harta benda, keluarga, pangkat dan jabatan tidak bisa ia bawa sebagai bekal dalam menghadapi hari akhir.
Tidak ada satupun manusia yang tau apa yang akan terjadi setelah kematiannya, semua menjadi teka-teki, dan setiap orang berhak untuk menebak atas dasar tanda-tanda alam maupun kitab suci yang diyakini. Mungkin karena itulah kenapa tembang macapat Pucung lebih banyak berisi teka-teki yang terkadang bisa bersifat jenaka. Dari tembang Pucung manusia dituntut untuk berpikir, mengkaji, dan mencari jawaban atas teka-teki ini.