MENGENAL LAGU – LAGU BERNUANSA AGAMA DAN BUDAYA DI ZAMAN
KEWALIAN DI JAWA
Makalah
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Ubaidillah Achmad, M.A
Oleh :
Nur Aliyatur Rohmah (1403036018)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
I.
DATA
Sebenarnya
Walisongo adalah nama suatu dewan da’wah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah
seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti olehwalilainnya. Era Walisongo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun
peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Dalam
menyebarkan agama islam, walisongo tidak hanya menggunakan metode dakwah saja,
tetapi juga ada kesenian, misalnya dengan lagu – lagu yang menjadikan
masyarakat jawa itu percaya bahwa agama islam adalah agama yang paling benar,
dan agama yang paling diridhai oleh Allah SWT. Namun, lagu yang diciptakan
adalah bukan lagu yang sekedar hanya lagu saja, melainkan lagu yang penuh makna
didalamnya. Lagu yang membangkitkan sikap kebaikan pada diri manusia.
II.
RELASI
MAKNA
Banyak
sekali lagu lagu bernuansa agama dan budaya karya zaman kewalian di jawa.
Berikut adalah sebagian dari lagu – lagu jawa berserta nilai atau makna yang
terkandung di dalam lagu tersebut:
A. Lir ilir
Dalam syair tembang dolanan yang berjudul
Ilir-ilir mengandung makna religius (keagamaan). Sedangkan maksud yang
terkandung dalam tembang tersebut adalah kita sebagai umat manusia diminta
bangun dari keterpurukan untuk lebih mempertebal iman dan berjuang untuk
mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru. Meminta Si anak
gembala untuk memetikkan buah blimbing yang diibaratkan perintah salat lima
waktu. Yang ditempuh dengan sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun
Islam apapun halangan dan resikonya. Meskipun ibarat pakaian kita terkoyak
lubang sana sini, namun kita sebagai umat diharapkan untuk memperbaiki dan
mempertebal iman dan taqwa agar kita siap memenuhi panggilan Ilahi robbi.
Lir-ilir,
lir-ilir (bangunlah, bangunlah!!)
Tandure
wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak
ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak
sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
Cah
angon, cah angon (anak gembala, anak gembala)
Penekno
blimbing kuwi (Panjatlah pohon belimbing itu)
Lunyu-lunyu
penekno (biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo
mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
Dodotiro,
dodotiro (pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir
bedah ing pinggir (terkoyak-koyak di bagian samping)
Dondomono,
jlumatono (jahitlah! Benahilah!)
Kanggo
sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)
Mumpung
padhang rembulane (mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung
jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo
sorako, sorak iyo!! (bersoraklah dengan sorakan iya!!)
Sebagai umat Islam kita diminta untuk bangun.
Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal
keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dalam diri kita yang dilambangkan
dengan tanaman yang mulai bersemi dan menghijau. Terserah kepada kita, mau
tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang
untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan
seperti bahagianya pengantin baru. Disini disebut anak gembala karenaoleh
Allah, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita
menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya? Si
anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang diibaratkan buah belimbing
bergerigi lima. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun islam. Jadi,
meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing
tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan rukun islam apapun halangan dan resikonya. Lalu apa gunanya? Gunanya adalah
untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa. Pakaian taqwa yang dimaksud
adalah pakaian taqwa kita. Sebagai manusia biasa, pasti terkoyak dan berlubang
di sana sini. oleh sebab itu, kita diminta untuk selalu memperbaiki dan
membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil manghadap kehadirat
Allah SWT kita diharapkan melakukan hal-hal tersebut, ketika kita masih sehat
(dilambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang
dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan iya.
B. Padhang Bulan
Lagu Padhang Rembulan dinyanyikan anak-anak Jawa pada saat bulan
purnama tiba. Anak-anak bernyanyi untuk memanggil teman-temannya bermain
bersama-sama menikmati bulan purnama. Setelah teman-temannya berkumpul, lagu dolanan
tersebut sering dikombinasikan dengan permainan petak umpet, tebak-tebakan
atau cangkriman, dan lain-lain.
Yo prakanca dolanan ing njaba (Ayo
teman-teman bermain di luar (halaman)
Padhang mbulan padhange kaya rina (Rembulan
bersinar terang seperti siang hari)
Rembulane kang ngawe-awe (Rembulannya
seakan-akan melambaikan tangan)
Ngelingake aja turu sore-sore (Mengingatkan
kita jangan tidur sore-sore)
Yo prakanca dha padha mrenea (Ayo
teman-teman bersama-sama ke sini)
Bareng-bareng dolanan suka-suka (Beramai-ramai
bermain bersuka ria)
Langite padhang sumebar lintang (Langitnya
cerah bintang bertebaran)
Yo padha
dolanan sinambi cangkriman (Ayo bermain bersama sambil main
tebak-tebakan)
Makna lagu Padhang Bulan
Nilai budaya Jawa yang
ditanamkan pada anak-anak melalui lagu dolanan Padhang Rembulan, yaitu
penghargaan terhadap alam semesta, religiusitas, dan solidaritas.Melalui syair
ini anak-anak diajarkan untuk mencintai alam. Hal ini dapat dilihat dari
penggambaran keindahan alam dalam syair lagu Padhang Rembulan. Anak
dikenalkan sejak dini tentang lingkungan alam. Jika dikenalkan dengan alam
semesta, anak akan menumbuhkan nilai penghargaan terhadap alam semesta dapat
digunakan untuk membentuk pribadi dengan karakter mampu memberikan penghargaan
terhadap alam semesta. Penghargaan tersebut dapat ditunjukkan dengan kekaguman
dan takjub atas keindahan alam semesta. Nilai penghargaan terhadap alam semesta
tersebut juga mendukung nilai religiusitas. Kesadaran akan keagungan alam
semesta menuntun kekaguman pada Sang Penciptanya. Dengan demikian, nilai
penghargaan terhadap alam semesta mendukung terbentuknya nilai religiusitas
pada anak.
Nilai penghargaan pada alam semesta dan religiusitas dalam lagu Padhang
Rembulan dapat ditemukan pada syair: Padhang bulan padhange kaya rina;
langite padhang sumebar lintang yang artinya rembulan bersinar terang
(suasananya) seperti siang hari, langitnya terlihat cerah bintang bertebaran’.
Lirik tersebut menjelaskan bahwa pada saat bulan purnama suasana malam hari
yang biasanya gelap menjadi terang benderang seperti siang hari. Langitnya
terlihat cerah dihiasi bintang yang bertebaran. Keindahan bulan purnama dan
bintang di malam hari tersebut perlu dinikmati, rugi jika dilewatkan dengan
tidur sejak sore hari. Keagungan alam semesta saat bulan purnama memberikan
kedekatan hati atas kebesaran Sang Pencipta. Hal tersebut perlu dikenalkan pada
anak agar terbentuk pribadi yang berkarakter mampu memberikan penghargaan
terhadap alam semesta dan religius.
Nilai solidaritas dapat terbentuk melalui pemahaman ajaran yang
terkandung pada syair yo pra kanca dolanan neng njaba, yo pra kanca dha
padha mrena, bebarengan dolanan suka-suka yang artinya ayo teman-teman
bermain di luar (halaman), ayo teman-teman datanglah ke sini, bersama-sama
bermain bersuka ria. Syair tersebut menunjukkan ajakan untuk bermain bersuka
ria bersama-sama. Ajakan ini menunjukkan solidaritas atau kebersamaan dengan
sesamanya untuk bermain dan bersuka ria. Kesenangan tidak hanya dinikmati
sendiri, melainkan dinikmati dengan kebersamaan. Penanaman hal ini penting
dikenalkan pada anak agar anak tidak egois atau individualis. Anak harus mampu
bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Bermain bersama merupakan salah
satu ajang untuk mengasah jiwa solidaritas dan sosialnya dengan sesamanya.
Kebersamaan dalam bermain tersebut dapat mendukung terbentuknya nilai
solidaritas dan sosial pada anak.
C. Gundhul – gundhul
pacul
Lagu Gundul-gundul Pacul merupakan lagu daerah
yang berasal dari Jawa Tengah. Meski di setiap buku lagu-lagu daerah nama
R. C. Hardjosubroto
tercantum sebagai pencipta lagu
Gundul-Gundul Pacul, namun konon lagu ini merupakan gubahan sunan
kalijaga dan teman – temannya yang masih remaja. Atau adapula pendapat yang
menyatakan bahwa lagu Gundul-gundul
Pacul ini adalah karya dari Raden Umar Sa’id (Sunan Muria). Terlepas dari polemik tentang
siapa sebenarnya pencipta lagu Gundul-gundul Pacul, lagu ini mempunyai arti
filosofis yang dalam dan sangat mulia berupa rambu-rambu leadership bagi para
pemimpin negeri ini
Gundul gundul
pacul-cul,gembelengan
Nyunggi
nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul
ngglimpang segane dadi sak latar
Wakul
ngglimpang segane dadi sak latar
Makna lagu Gundhul –
Gundhul Pacul
Gundul: adalah kepala plonthos tanpa rambut.
Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota
lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa
mahkota. Sedangkan pacul: adalah
cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat.
Pacul: adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani. Gundul
pacul artinya: bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang
diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa mengatakan pacul
adalah papat kang ucul (empat yang lepas).
Artinya bahwa kemuliaan
seseorang sangat tergantung pada 4 hal, yaitu Mata, Telinga, Hidung, dan mulut.
1. Mata digunakan untuk
melihat kesulitan rakyat
2. Telinga digunakan
untuk mendengar nasehat
3. Hidung digunakan
untuk mencium wewangian kebaikan
4. Mulut digunakan untuk
berkata yang adil
Adapun Gembelengan artinya: besar
kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Jadi,
“Gundul-gundul pacul cul gembelengan’ artinya seorang pemimpin yang
sejatinya harus menunaikan amanah rakyat ternyata menjadi sombong, selengekan,
clelak-clelek, dan menjadikan kehormatannya sebagai sebuah permainan. Sedangkan
“Nyunggi-nyunggi wakul kul” artinya seorang pemimpin harus selalu
nyunggi wakul (memikul bakul/tempat nasi, yang berarti mengupayakan
kesejahteraan rakyat dan menjunjung amanah rakyat). namun dalam realitasnya
sering ditemui pemimpin yang ‘nyunggi-nyunggi wakul kul gembelengan’ atau pemimpin
yang hanya mementingkan perut dan udelnya sendiri akhirnya wakul ngglimpang
(amanah jatuh tidak dapat dipertahankan) segane dadi sak latar
(berantakan sia-sia, tak bisa bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat)
Intinya, mari
kita memilih pemimpin yang amanah dan tanggung jawab bukan pemimpin yang
mementingkan udel-nya sendiri. dan bagi para pemimpin, sudah menjadi kewajiban
anda untuk menggunakan 4 indera anda sebaik mungkin agar tidak ucul hingga
wakul kalian menjadi nggelimpang.
D. MACAPAT
Tembang Macapat merupakan salah satu kelompok tembang yang
sampai saat ini masih diuri-uri (dilestarikan) oleh orang
Jawa. Ada 11 tembang
dalam macapat, masing-masing memiliki karakter dan ciri yang berbeda, memiliki
wataknya sendiri, dan memiliki aturan-aturan penulisan khusus dalam membuatnya. Asal-usul tembang macapat sendiri sampai saat
ini masih dalam perdebatan. Masyarakat jawa tengah pada umumnya mengetahui
tembang macapat ada sejak masa-masa akhir kerajaan Majapahit dan mulai masuknya
Islam di tanah jawa. Pada jaman Walisongo tembang macapat banyak digunakan
sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Tembang macapat diyakini sebagian
besar orang jawa sebagai kelompok tembang yang memiliki makna proses hidup
manusia, proses dimana Tuhan memberikan ruh-Nya, hingga manusia tersebut
kembali kepada-Nya. Sifat-sifat manusia sejak lahir hingga kematiannya
digambarkan dengan runtut dalam sebelas tembang macapat.
1. Maskumambang
Sebagai pembuka dalam kelompok tembang macapat, Maskumambang
menjadi pratanda
dimulainya kehidupan manusia di dunia, tembang macapat ini memberi gambaran
tentang janin dalam kandungan ibu ketika sedang hamil. Arti kata Maskumambang
sendiri banyak yang memaknai sebagai emas yang terapung (emas
kumambang), juga sering disebut sebagai maskentir (emas yang terhanyut). Kehamilan
merupakan proses pembentukan seluruh organ jiwa dan raga sebuah janin,
berlangsung selama 280 hari atau 10 bulan atau 40 minggu terhitung dari hari
pertama haid terakhir. Para pemuka agama meyakini bahwa ruh ditiupkan pada
janin saat berusia 120 hari terhitung sejak bertemunya sel sperma dengan ovum. Tembang macapat
maskumambang banyak digunakan untuk mengungkapkan perasaan nelangsa, sedih,
ketidakberdyaan, maupun harap-harap cemas dalam mensikapi kehidupan.
2. Mijil
Awal hadirnya manusia di dunia ini digambarkan dalam tembang Mijil
yang berarti seorang anak terlahir dari gua garba Ibu. Kata lain dari mijil
dalam bahasa jawa adalah wijil, wiyos, raras, medal, sulastri yang
berarti keluar.
Kelahiran merupakan proses dimana seorang ibu memperjuangkan dua
nyawa sekaligus, dirinya sendiri dan anaknya. Seberat apapun proses itu,
didalamnya terdapat cinta dan harapan dari seluruh anggota keluarga,
harap-harap cemas namun bahagia dalam menanti kelahiran buah hati.
Jabang bayi yang mijil dari rahim ibunya adalah
suci, dia tidak bisa memilih terlahir dari siapa, misalpun terlahir dari
hubungan “tidak sah”, bayi tetaplah suci, ibarat kertas ia masih bersih putih
tanpa coretan. Ketika bayi lahir saat itulah ia
mengenal dunia pertama kalinya, ia diberi wewenang untuk menjalani kehidupan
selanjutnya. Ia dihadirkan untuk bisa menjadi “manusia” hingga suatu saat bisa
kembali kepada-Nya dengan damai.
3. Sinom
Dalam
bahasa jawa Sinom biasanya digunakan untuk menyebut daun asam yang masih muda, beberapa
kalangan mengartikan Sinom sebagai si enom, isih
enom (masih muda). Meski berbeda-beda dalam
mengartikan, namun pada prinsipnya tetap sama dalam mengintepretasikan kata
Sinom yakni tentang sesuatu yang masih muda.
Tembang
macapat Sinom merupakan tembang ketiga setelah tembang macapat Mijil yang berarti terlahir. Setelah bayi lahir ia
menjadi seorang anak yang dalam perkembangannya akan menjadi seorang anak muda
yang dinamis. Tembang macapat Sinom secara umum memang memberi gambaran tentang
seseorang yang menginjak usia muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan
angan-angan hingga menjelang usia akil-balik ataupun dewasa. Dalam istilah
konotasi bahasa Indonesia, orang yang masih muda belia sering dikatakan sebagai
daun muda. Sifat
tembang macapat Sinom adalah bersemangat, bijaksana dan sering digunakan untuk piwulang
(mengajari) dan wewarah (membimbing).
4.
Kinanthi
Kinanthi
banyak diyakini berasal dari kata dikanthi-kanthi (diarahkan,
dibimbing, atau didampingi). Proses pendampingan anak sebenarnya sudah
dilakukan orang tua sejak kecil, namun di usia remaja seorang anak perlu
didampingi secara ekstra karena pada usianya ia sudah banyak berinteraksi
dengan lingkungan.
Masa-masa
remaja menginjak usia dewasa biasanya seseorang sedang mengalami proses
pencarian identitas ataupun jati diri. Banyak referensi yang ia dapatkan dari
interaksi lingkungan dan pergaulannya. Apa yang ia lihat, dengar dan rasakan
terkadang didefinisikan seolah-olah adalah dirinya, saat itulah ia banyak
meniru untuk menunjukkan ke-aku-annya.
Diusia
remaja ia sudah mengenal baik dan buruk, sudah sedikit mengenal asmara, sudah
mengenal banyak hal namun belum bisa menentukan pilihan secara bijaksana karena
masih mudah terombang-ambing dengan pilihannya.
5. Asmaradana
Macapat
Asmaradana merupakan salah satu tembang yang banyak menggambarkan gejolak asmara
yang dialami manusia. Sesuai dengan arti kata, Asmaradana memiliki makna asmara
dan dahana
yang berarti api asmara.
Sebagaimana
kehidupan, ia digerakkan oleh asmara, cinta, welas asih. Banyak yang percaya,
dengan kekuatan cinta apapun bisa dilakukan. Bukan hanya cinta kepada sesama
manusia, namun juga cinta terhadap Tuhan dan cita pada alam semesta.
Macapat
Asmaradana juga sering disebut sebagai Asmarandana, adalah lagu kasmaran yang
sering digunakan untuk mengungkapkan perasaan cinta, baik untuk lagu sedih
karena patah hati, kecewa cintanya ditolak, pasangan bahagia, maupun sebuah
pengharapan pada pasangan.
6.
Gambuh
Tembang
macapat Gambuh dalam rangkaian sekar
macapat memiliki makna “cocok” atau sepaham. Tembang
ini untuk menggambarkan seseorang dikala memasuki masa-masa indah atau masa
menikah. Pernikahan menjadi sebuah tanda persetujuan (sarujuk)
atas dua keluarga, sebagai obat (gambuh) atas panasnya kobaran
api cinta yang digambarkan dalam tembang macapat Asmarandana.
Watak
dari tembang gambuh diantaranya adalah Sumanak (ramah terhadap siapapun), sumadulur
(persaudaraan yang erat), Mulang (mengajarkan), dan Pitutur
(nasehat). Sebagai salah satu tembang yang memuat berbagai nasihat, tembang
macapat Gambuh biasanya digunakan oleh para orang tua untuk menasihati
anak-anaknya atau para generasi muda tentang bagaimana membangun kehidupan
antar sesama, misalnya bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya
(bijaksana), bisa memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya (adil), dan lain
sebagainya.
7. Dhandanggula
Tembang macapat
Dandanggula memiliki makna harapan yang indah, kata dandanggula
sendiri dipercaya berasal dari kata gegadhangan yang berarti
cita-cita, angan-angan atau harapan, dan dari kata gula yang
berarti manis, indah ataupun bahagia.
Selain
mempunyai arti harapan yang indah, beberapa kalangan juga ada yang
menafsirkan Dandanggula berasal dari kata dhandang yang berarti
burung gagak yang melambangkan duka, dan dari kata gula yang
terasa manis sebagai lambang suka. Kebahagiaan dapat dicapai setelah sebuah
pasangan dapat melampaui proses suka-duka dalam berumah tangga sehingga
akan tercapai cita-citanya, cukup sandang, papan dan pangan. Seseorang yang
sedang menemukan kebahagiaan dapat diibaratkan lagunya dandanggula.
Dalam
urutan sebelas tembang macapat, Dandanggula menempati urutan tembang yang ketujuh
setelah tembang macapat Gambuh yang berarti kecocokan
anatar dua insan manusia. Tembang ini memiliki watak yang Luwes, gembira
dan indah, sangat cocok digunakan sebagai tembang pembuka yang menjabarkan
berbagai ajaran kebaikan, ungkapan rasa cinta dan kebahagiaan.
8.
Durma
Tembang
macapat Durma merupakan tembang macapat yang menggambarkan kondisi ketika
manusia telah menikmati segala kenikmatan dari Tuhan. Dalam banyak kasus, manusia
akan mengingat Pencipta-Nya saat
ia dalam kondisi kesulitan, dan ia akan lupa ketika dalam kondisi kecukupan.
Memang
sudah seharusnya ketika manusia dalam kondisi kecukupan ia akan bersyukur,
namun pada kenyataannya justru seringkali ia bersifat sombong, angkuh, serakah,
suka mengumbar hawa nafsu, mudah emosi dan berbuat semena-mena terhadap
sesamanya. Sifat-sifat buruk inilah yang mungkin digambarkan dalam tembang
macapat Durma. Durma bagi beberapa kalangan diartikan sebagai munduring
tata krama, (mundurnya etika).
Tembang
macapat Durma biasanya digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat amarah,
berontak, dan juga semangat perang. Ia menggambarkan keadaan manusia yang
cenderung berbuat buruk, egois dan ingin menang sendiri.
9. Pangkur
Tembang
macapat Pangkur bagi orang jawa sering dimaknai sebagai proses mengurangi hawa
nafsu dan mungkur
dari urusan duniawi. Dalam tahap ini, manusia sudah memasuki usia senja dimana
sesorang akan “berkaca” tentang dirinya, tentang masa lalunya, tentang pribadi
dan Tuhannya dan lain sebagainya.
Pangkur
yang juga berarti mungkur (mundur/mengundurkan diri),
memberi gambaran bahwa manusia mempunyai fase dimana ia akan mulai mundur dari
kehidupan ragawi dan menuju kehidupan jiwa atau spiritualnya.
Tembang
macapat Pangkur banyak digunakan pada tembang-tembang yang bernuansa Pitutur (nasihat),
pertemanan, dan sayang. Dalam tembang ini juga berbicara tentang kegembiraan
dan pengendalia hawa nafsu. Meski demikian tembang macapat Pangkur juga sering
digunakan dalam tembang-tembang asmara.
10.
Megatruh
Tembang
macapat Megatruh merupakan salah satu
tembang macapat yang menggambarkan tentang kondisi maunisa di saat sakaratul
maut. Kata megatruh sendiri dipercaya berasal dari kata megat/pegat
(berpisah) dan ruh, yang artinya berpisahnya
antara jiwa dan raga.
Kematian
menjadi hal yang paling ditekankan dalam tembang Megatruh, proses dimana setiap
makhluk hidup di dunia pasti akan mengalaminya, proses yang menegangkan
sekaligus menyakitkan bagi banyak orang, proses terbukanya gerbang menuju
kehidupan yang tak pernah ada akhirnya.
Bagi
para pemuka agama sangat meyakini bahwa ruh akan lepas dengan mudah dan
ringan untuk mereka yang memiliki iman. Bagi orang yang beriman Malaikat
akan datang dan mengambil nyawanya dengan kesan yang baik
serta menggembirakan.
Kematian
secara medis terjadi ketika otak telah kehabisan suplai oksigen, sel otak
mati secara massal, dan seluruh organ tubuh sudah tidak dapat lagi bekerja.
Tidak
mudah memang memprediksikan secara tepat kapan seseorang akan meninggal.
Kematian dapat disebabkan karena sakit, kecelakaan atau sebab lainnya secara
mendadak. Meski demikian beberapa orang juga ada yang mampu menemukan keanehan
ataupun tanda-tanda menjelang kematiannya.
Sifat
dan karakter dari tembang macapat Megatruh diantaranya sedih, prihatin,
“getun”, menyesal. Tembang macapat ini sangat cocok untuk cerita yang
mengandung rasa penyesalan, prihati, sedih.
11.
Pucung
Setelah kita mengenal tembang macapat Megatruh yang berarti
proses perpisahan antara Jiwa dan Raga, kini kita akan mengenal satu tembang
macapat Pucung atau sering ditulis dengan Pocung yang biasa diartikan dengan
pocong/pengkafanan jenazah. Tembang ini menjadi tembang terakhir dari sebelas tembang macapat.
Bagi
orang jawa, badan wadag yang telah ditinggalkan oleh ruhnya biasanya akan
dirawat dan disucikan sebelum ia dikembalikan dari asalnya yaitu rahim ibu
pertiwi (tanah). Jasad akan dimandikan dan dibungkus dengan kain mori
putih sebagai lambang kesucian.
Tembang
macapat Pucung merupakan satu tembang yang digunakan sebagai pengingat akan
datangnya kematian. Hadirnya manusia di dunia yang sementara ini akan ada satu
masa titik akhir dimana ia harus berpisah dengan segala yang ia cintai semasa
hidup. Harta benda, keluarga, pangkat dan jabatan tidak bisa ia bawa
sebagai bekal dalam menghadapi hari akhir.
Tidak
ada satupun manusia yang tau apa yang akan terjadi setelah kematiannya,
semua menjadi teka-teki, dan setiap orang berhak untuk menebak atas dasar
tanda-tanda alam maupun kitab suci yang diyakini. Mungkin karena itulah kenapa
tembang macapat Pucung lebih banyak berisi teka-teki yang terkadang bisa
bersifat jenaka. Dari tembang Pucung manusia dituntut untuk berpikir, mengkaji,
dan mencari jawaban atas teka-teki ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar